dentum.id – Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan warisan budaya, dan salah satu permata sejarah yang paling membanggakan adalah Candi Borobudur. Terletak di Magelang, Jawa Tengah, Candi Borobudur tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Jawa, tapi juga menjadi ikon budaya Indonesia di mata dunia.
Uniknya, Candi Borobudur berdiri di antara dua candi Buddha lainnya, yaitu Candi Pawon dan Candi Mendut, yang bersama-sama membentuk jalur spiritual penting dalam sejarah Buddha di Nusantara.
Warisan Dunia yang Tak Tergantikan
Pada tahun 1991, UNESCO resmi menetapkan Candi Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage). Pengakuan ini menjadikan Borobudur sebagai salah satu situs sejarah yang harus dilestarikan, bukan hanya oleh Indonesia, tapi juga oleh dunia.
Namun, muncul pertanyaan menarik: siapa yang membangun candi semegah ini dan sejak kapan?
Asal Usul dan Sejarah Pembangunan Candi Borobudur
Menurut buku Candi Indonesia: Seri Jawa karya Edi Sedyawati dkk, tidak ada catatan pasti mengenai waktu pembangunan Borobudur. Namun, para arkeolog memperkirakan candi ini dibangun antara tahun 775–832 M, saat masa kejayaan Dinasti Syailendra.
Ahli epigraf Belanda, J.G. de Casparis, menyebut bahwa Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga bersama putrinya, Pramodhawardhani, berdasarkan Prasasti Karang Tengah dan Prasasti Sri Kahulunan.
Candi ini merupakan pusat ibadah umat Buddha aliran Mahayana dan Tantrayana, serta digunakan untuk meditasi berdasarkan ajaran filsafat Yogacara. Ajaran ini serupa dengan yang berkembang di India Timur, khususnya di wilayah Bengal pada abad ke-8.
Penemuan Kembali Candi Borobudur
Borobudur sempat “tertidur” dan terkubur oleh abu vulkanik hingga akhirnya ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Ia memerintahkan insinyur Belanda, H.C. Cornelius, untuk menyelidiki temuan candi misterius di Desa Bumisegoro.
Penemuan demi penemuan terus dilakukan hingga akhirnya relief Karmawibhangga yang tersembunyi di bagian dasar candi berhasil ditemukan oleh J.W. Ijzerman pada 1885.
Dua Kali Proyek Pemugaran
Ketika ditemukan, kondisi Borobudur sangat rusak. Pemugaran pertama dilakukan oleh Th. van Erp pada tahun 1907–1911. Sayangnya, beberapa bagian masih belum tertangani, hingga akhirnya UNESCO bersama pemerintah Indonesia melakukan pemugaran besar-besaran antara 1973–1983, dipimpin oleh Prof. Dr. R. Soekmono dan Ir. Roosseno.
Pemugaran ini menyelamatkan Borobudur dari kehancuran dan menjadikannya seperti yang kita lihat hari ini.
Arsitektur Megah yang Sarat Makna
Candi Borobudur berdiri di atas lahan seluas 123 x 123 meter dan memiliki tinggi sekitar 42 meter (termasuk stupa utama). Uniknya, candi ini dibangun tanpa semen atau perekat, melainkan dengan teknik penyambungan batu andesit menggunakan sistem pasak seperti “ekor burung layang-layang.”
Bangunan ini memiliki 10 tingkatan yang merepresentasikan filosofi perjalanan spiritual menuju pencerahan, sesuai dengan konsep triloka (tiga dunia) dalam ajaran Buddha:
1. Kamadhatu
Tingkatan paling bawah yang menggambarkan dunia nafsu, diwakili oleh relief Karmawibhangga.
2. Rupadhatu
Tingkat dua hingga enam, menggambarkan dunia bentuk. Terdapat relief indah seperti Lalitavistara, Jataka, dan Gandavyuha.
3. Arupadhatu
Tingkat tujuh hingga puncak, menggambarkan dunia tanpa bentuk. Di sini terdapat stupa-stupa yang menyimbolkan kesucian dan pencapaian pencerahan.
Mari Jaga Warisan Leluhur
Candi Borobudur bukan sekadar bangunan kuno — ia adalah jejak sejarah, lambang peradaban, dan mahakarya spiritual yang menyimpan filosofi mendalam.
Sebagai generasi penerus bangsa, kita punya tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya luar biasa ini. Candi Borobudur adalah bukti bahwa Indonesia memiliki kekayaan sejarah yang tidak ternilai harganya.